b

Minggu, 04 Desember 2016

Richard ‘Insane’ Latunusa Menyebarkan Streetball

Sekali waktu diadakan ujian tulis pelajaran olahraga di sebuah sekolah dasar (SD) di Bandung. Salah satu soal meminta siswa menuliskan nama pemain terkenal sesuai cabang olahraganya. Untuk cabang bulu tangkis, misalnya, para siswa tangkas menulis nama Taufik Hidayat. Di cabang basket, 14 siswa menulis nama Richard.
Guru yang memeriksa jawaban para siswa itu tersentak. Ia tak mengenal nama Richard di dunia basket. Tapi, mengapa ada 14 siswa yang menjawab sama? Tak ingin didera tanya, ia memanggil pemilik nama itu ke sekolah. ”Anda siapa?” tanya guru itu, kepadanya.
”Saya bukan siapa-siapa.”
”Mengapa banyak siswa saya menuliskan nama Anda?”
”Saya juga bingung.”
Setelah Richard menjelaskan aktivitas dan prestasinya, sang guru mahfum. Jawaban 14 siswa yang semula disalahkan, kemudian dibetulkan.
”Ternyata kamu figur pemain basket,” ucap guru itu.
Siswa yang menuliskan nama Richard dalam lembar jawaban, ternyata anak asuh Richard di Sekolah Streetball Bandung.
Richard ‘Insane’ Latunusa yang mengisahkan peristiwa itu, kini menjadi ikon streetball, bukan hanya di Bandung, tapi juga di Indonesia. Ia menjadi pemain terbaik liga LA Light Streeball, 2005.
Future Streetball Camp, sekolah streetball yang ia dirikan di Bandung, dibanjiri peminat. Tercatat 178 siswa yang belajar di sekolah itu, berasal dari berbagai daerah di Jawa Barat, seperti Subang dan Purwakarta. Demam streetball lantas menjalar ke mana-mana. Komunitas streetball yang semula hanya ada di Bandung, kini terbentuk di hampir semua kota di Indonesia.
Semua itu bermula dari kegemaran Insane, panggilan akrabnya, bermain basket sejak SD di Jakarta. Sekali tempo, tahun 2000, ia menyaksikan pertandingan antarklub basket di Jakarta. Di sela pertandingan, dipertontonkan permainan basket yang penuh aktraktif dari VCD. ”Wah, ini basket lain,” kata dia membatin.
Insane mendekat. ”Dari mana dapat VCD ini?” tanyanya. Jawaban yang diperoleh, ”Itu merupakan bonus bila membeli sebuah merk sepatu di Amerika.” Tak ingin kehilangan kesempatan, ia lalu memesan kepada seorang pamannya. Sang paman bekerja di kapal yang kerap berlayar ke Negeri Paman Sam itu.
Keinginannya tercapai. Saat memperoleh kiriman VCD, Insane mulai mempraktikkan gaya permainan yang ditontonnya. ”Ternyata bisa,” ucap pria kelahiran Jakarta, 23 Juni 1979, yang tercatat sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung (STPB) angkatan 1999, ini.
Mulus memainkan banyak gaya permainan bola basket dengan atraktif, ternyata tidak semulus sambutan teman sepermainannya. Tak hanya diledek, tidak jarang ia menerima lemparan saat bermain streetball. ”Kalau saya main, ada yang menabuh gendang, layaknya permainan topeng monyet. Bahkan, di Majalengka saya sempat ditimpuk genteng,” kata dia mengenang.
Tak gentar oleh cercaan, ia terus mempelajari dan mengembangkan permainan streetball. Perlahan-lahan mulai ada yang tertarik untuk mempelajarinya. Semula dari enam orang, teman mainnya kemudian bertambah menjadi 12 orang. Bermain tiap Rabu malam dari pukul 21.00 – 24.00 di lapangan basket GOR Saparua, Bandung, penonton membludak. Permainan ini kemudian mulai digemari, tak hanya remaja, tapi juga anak-anak. Sampai sekali waktu, di tahun 2004, seseorang menghampiri Insane, sembari berseru, ”Mengapa tidak membuat sekolah saja?”
Insane tak kuasa menolak. Ia tak bisa menghindar dari banyaknya anak-anak yang ingin belajar streetball. Jadilah Future Streetball Camp, sekolah streetball. Tak kurang dari empat bulan, siswanya mencapai 50 orang. Inilah sekolah tanpa kampus. Tempat belajarnya di lapangan basket Sabuga, Bandung.
Tak mampu sendirian melatih 178 anak didik dari siswa SD sampai mahasiswa, Insane meminta bantuan dua orang pelatih. Ia lebih banyak menyusun kurikulum, mengatur materi latihan yang disesuaikan dengan pengelompokan junior-senior. ”Kita juga membuat semacam rapor, supaya orang tua tahu perkembangan anaknya,” jelas Insane.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.